Tugas Mandiri (Kelompok)
Modul Negosiasi Bisnis
Nama Dosen : Hielvita Ludiya, S.E., M.M.,
DISUSUN OLEH :
Dewi Fransisca (130910117)
Lusiana (130910088)
Siska Melinda (130910226)
Rani Ifandy (130910336)
Kode Kelas : 152-MN056-N1
Falkultas : Ekonomi
Jurusan : Manajemen Bisnis
UNIVERSITAS PUTERA BATAM
Tahun Pelajaran 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas kelompok, yaitu ‘Modul mengenai Materi Negosiasi Bisnis” dimana makalah ini merupakan salah satu dari tugas mata kuliah “Negosiasi Bisnis”. Kami menyadari bahwa dalam penulisan modul ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami harap para pembaca dapat memakluminya. Dan, semoga modul ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………. ii
BAB I Definisi Negosiasi……………………………………………………………………….. 1
BAB II Tahapan Proses Negosiasi Bisnis……………………………………………….. 3
BAB III Penerapan Analisis Fase dalam Negosiasi…………………………………. 4
BAB IV Penerapan Analisis Negosiasi…………………………………………………… 6
BAB V Market Share dan Pengukuran Market Share…………………………… 10
BAB VI Petugas Pemasaran sebagai Pelaksanaan Negosiasi………………….. 12
BAB VII Teori Negosiasi Muka…………………………………………………………….. 15
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………. iii
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
Definisi Negosiasi
Definisi negosiasi secara formal dapat diartikan sebagai suatu bentuk pertemuan bisnis antara dua pihak atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan bisnis. Negosiasi merupakan perundingan antara dua pihak dimana didalamnya terdapat proses memberi, menerima, dan tawar menawar. Selain itu negosiasi juga merupakan suatu klimaks dari sebuah proses interaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak untuk saling memberi dan menerima atas sesuatu yang ditentukan dengan kesepakatan bersama. Negosiasi adalah suatu hal yang fundamental dalam keahlian manajerial. Manager bernegosiasi setiap saat dengan apa yang harus dilakukan, menentukan anggaran, perubahan batas waktu projek, atau masalah yang harus diselesaikan berhubungan dengan pegawai. Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi yang sangat cepat, organisasi berbasis tim (team based organization) dan kemampuan bernegosiasi yang efektif sangat diperlukan untuk mencapai kesuksesan yang profesional.
Proses negosiasi ini dapat berkisar dari hanya memerlukan waktu 2 menit sampai proses bulanan, tahunan atau mungkin tidak terjadinya kesepakatan. Beberapa negosiasi mungkin hanya membutuhkan satu kali bertransaksi, atau mungkin 9 melibatkan suatu hubungan jangka panjang (longterm relationship). Negosiasi juga dapat menghasilkan suatu keuntungan bersama (win win), dan yang lainnya hanya sebagai permainan menang kalah (“divide a pie”). Bagaimana manajer memikirkan cara terbaik dalam melakukan negosiasi? Dengan analisis negosiasi diyakini sebagai suatu alat yang powerful untuk menilai situasi negosiasi dan membangun strategi menang (winning strategy).
Negosiasi dapat timbul dikarenakan adanya perebutan sumber daya, yaitu satu pihak menginginkan sesuatu yang dikuasai pihak lain (dan/atau sebaliknya) atau perbedaan persepsi, yaitu salah satu pihak ingin menyelaraskan pandangan yang tadinya berbeda terhadap suatu hal, yang mungkin berpotensi menimbulkan konflik atau menghalangi pencapaian tujuan. Seorang negosiator harus bisa membedakan apakah ia bernegosiasi karena perebutan sumber daya atau perbedaan persepsi. Keliru menilai situasi akan berpengaruh pada kekeliruan merencanakan strategi yang dipakai. Negosiasi dapat dilakukan apabila ada isu atau topik yang dapat dinegosiasikan. Selain itu, pihak-pihak yang terlibat memiliki kesediaan untuk bernegosiasi, kesiapan untuk melakukan negosiasi, memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan interdependensi (saling bergantung). Negosiator dalam hal ini harus mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi alternatif terbaik bila kesepakatan tidak bisa dihasilkan lagi (BATNA, Best Alternative To a Negotiated Agreement) serta keraguan tentang hasil-hasil penyelesaian sengketa. Seorang 10 negosiator yang baik adalah seorang yang memiliki kepekaan terhadap hal-hal yang mendesak untuk diselesaikan dan tidak memiliki kendala psikologis yang besar. Dalam analisis negosiasi (Sebenius (1992, 2002)), umumnya mempertimbangkan unsur dasar berikut ini yaitu partisipan aktual dan potensial, interest, BATNA, hubungan proses “menciptakan” dan “menuntut” nilai (win win atau win lose) serta perubahan potensial permainan (“change the game”) itu sendiri.
BAB II
Tahapan Proses Negosiasi Bisnis
Proses negosiasi melibatkan baik aksi yang dapat mempertinggi atau memperbesar manfaat bersama melalui agreement (“creating value”) maupun untuk membagi nilai dari suatu agreement (“claiming value”). a. Creating Value (Integrative Negotiation) Di dalam kebanyakan negosiasi, pada awalnya nilai potensial dari aksi bersama tidak sepenuhnya jelas. “Creating value” adalah untuk mencapai perjanjian yang saling menguntungkan (mutually beneficial agreements). Untuk meningkatkan kebersamaan pihak tersebut dan menghindari adanya konfik yang berkepanjangan memerlukan suatu pendekatan yang sering disebut “win-win”,”integrative,” atau “variable sum” yaitu pertemuan untuk saling berbagi informasi, komunikasi dengan jelas, dan kreatif. b. Claiming Value (Distributive Negotiation) Aspek yang krusial dari kebanyakan negosiasi adalah “distributive”,“win-lose,” atau constant-sum; yaitu dalam prosesnya jika 11 terjadi peningkatan nilai yang diklaim oleh satu pihak maka akan menyebabkan nilai yang didapat oleh pihak lain berkurang. Beberapa taktik yang digunakan dalam bargaining telah dibahas oleh (misalnya Schelling (1960), Walton and McKersie (1965), Raiffa (1982), Thompson (2001) and Lax and Sebenius (1986).) yaitu diantaranya membentuk persepsi dari alternatives to agreement, membuat komitmen, mempengaruhi aspirasi, mengambil posisi kuat, memanipulasi pola konsesi, mengaitkan isu dan pengaruh interest. Dengan menunjukkan taktik ini, satu pihak melihat keuntungan dari zone of possible agreement (ZOPA) yaitu daerah yang memungkinkan tercapainya kesepakatan dengan mempengaruhi persepsi dari pihak lain.
BAB III
Penerapan Analisis Model Fase dalam Negosiasi
Negosiasi dibutuhkan untuk membuka beberapa kontrak yang mungkin, interest yang paling mendasar bagi klien, persetujuan (komitmen), atau ketidaksetujuan yang mungkin muncul. Kombinasi partisipan, interest, isu yang dinegosiasikan, resolusi yang mungkin untuk setiap isu, BATNA partisipan dan prilaku dinamik adalah pada dasarnya memiliki keunikan tersendiri untuk setiap projek. Semakin banyak partisipan yang terlibat dalam negosiasi, maka semakin kompleks juga negosiasinya. Ide dasar dari model fase pengambilan keputusan adalah bahwa elemen dari keputusan tidak diasumsikan ada dan tetap, tapi berubah sesuai waktu (Noorderhaven, 1995). Tujuan dari model fase ini adalah untuk menjelaskan pola 12 umum dari elemen analisis negosiasi dibangun (seperti interest, isu, BATNA). Lewicki et al. (1999) dan mengambil suatu kesimpulan bahwa akhirnya berbagai model negosiasi mempunyai struktur umum yang terbagi menjadi tiga fase yaitu fase awal (initiation), pemecahan masalah (problem-solving) dan resolusi (resolution).
Dalam papernya, Berridge (2002) mengadopsi hal yang serupa, yaitu tiga fase (three-stage model) yang terdiri dari pre-negosiasi (pre-negotiations), berada di meja negosiasi (around-the-table negotiations) dan paket persetujuan (packaging agreements). Keaslian dari model tiga fase (three stage model) ini ditelusuri oleh Simon (1960), yang menjelaskan bahwa tiga langkah pengambilan keputusan dalam pekerjaannya “The new science of management decision” adalah Intelejensi (intelligence), desain (design) dan pilihan (choice). Berikut ini digambarkan model fase dalam negosiasi, Yaitu : 1. Dalam fase intelligence, atau fase pre-negosiasi, yang diperlukan untuk negosiasi adalah perkenalan, identifikasi partisipan, kabar/ berita mengenai interest dan BATNA dari kedua pihak yang terlibat dan pihak lainnya serta identifikasi isu negosiasi secara umum. 2. Dalam fase desain (around the table negotiation), partisipan mendefinisikan interest mereka, menentukan isu spesifik yang dinegosiasikan dan sekumpulan option untuk masing-masing isu, serta mengevaluasi kombinasi yang berbeda dari option (kontrak) yang menyangkut interest mereka. 13 3. Dalam fase pilihan (packaging the agreement), partisipan secara bersama memilih dan setuju untuk kontrak negosiasi dan akhirnya implementasi serta mengawasi implementasi kontrak.
BAB IV
Penerapan Analisis Negosiasi
Negosiasi dibutuhkan untuk membuka beberapa kontrak yang mungkin, interest yang paling mendasar bagi klien, persetujuan (komitmen), atau ketidaksetujuan yang mungkin muncul. Kombinasi partisipan, interest, isu yang dinegosiasikan, resolusi yang mungkin untuk setiap isu, BATNA partisipan dan prilaku dinamik adalah pada dasarnya memiliki keunikan tersendiri untuk setiap projek. Semakin banyak partisipan yang terlibat dalam negosiasi, maka semakin kompleks juga negosiasinya. Meskipun setiap proses penjualan maupun berbagai bentuk kerjasama antar perusahaan pada dasarnya memiliki keunikan sendiri, akan tetapi negosiasi projek memiliki karakteristik dasar secara umum, yaitu mempunyai tiga tujuan dasar yang dapat dikatakan hampir ada dalam setiap projek, yaitu lingkup (scope), waktu (time) dan biaya (cost). Tujuan projek yang pertama, lingkup (scope), yaitu jumlah produk. pelayanan (service) dan outcome immaterial yang dihasilkan dalam projek. Tujuan yang kedua, waktu (time), dapat dipahami sebagai keperluan penjadwalan untuk projek dan tujuan yang ketiga, biaya (cost), menyatakan sumber yang dibutuhkan untuk memproduksi dan hasil produksi dari penjualan, biasanya diukur dengan uang.
Perspektif negosiasi, ketiga unsur ini biasanya menjadi isu yang dinegosiasikan dalam perjualan maupun bentuk kerjasama. Dapat dicatat bahwa tujuan ini tidak sama artinya dengan interest dari partisipan yang didiskusikan sebelumnya. Dilihat dari sudut pandang projek penjualan suatu perusahaan, terdapat 6 tahap (fase) yang saling berurutan secara umum seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 2.1. Fase Projek dari perspektif Projek Marketing Phase Deskripsi Pencarian (Search) Membaca lingkungan untuk mengidentifikasi peluang projek dan pengembangan industri yang relevan.
Persiapan (Preparation) Bertanggung jawab untuk studi kelayakan; menggunakan pengaruh pembeli dan pihak lainnya yang relevan dalam memperoleh negosiasi dan memperoleh spesifikasi tender yang memuaskan bagi kontraktor; mengevaluasi situasi kompetitif. Penawaran (Bidding) mempersiapkan dokumen penawaran setelah menerima ajakan untuk menawar, membuat keputusan mengenai harga dan penggunaan Isi Persetujuan Penjualan atau kerjasama Lingkup Waktu Biaya 15 sumber daya. Negosiasi (Negotiation) Berawal ketika penjual membuat penawaran pertama untuk projek dan berakhir dengan menandatangani kontrak. Implementasi (Implementation) Mengirimkan dan mengawasi projek, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang timbul; pelatihan personil pembeli; menciptakan sistem setelah penjualan (after sales). Transisi (Transition) Mengevaluasi projek secara keseluruhan, membangun pengetahuan untuk penawaran berikutnya, menyediakan pelayanan tambahan Berikut ini adalah model keputusan utama dari klien dan kontraktor. Keputusan Investasi (Investment Decision) Target Segmentasi (Segment Targeting) Client Kontraktor Tender atau
Negosiasi Keputusan Penawaran (Bidding Decision) Pemilihan Tender yang paling disukai Submission Tender Penyerahan Kontrak Perubahan Kontrak Kontrak Akhir Pencarian Persiapan Penawaran Negosiasi Implementasi Transisi Berdasarkan gambar diatas, jika dikaitkan dengan model fase negosiasi sebagai berikut :
- Fase pencarian dan persiapan merupakan fase intelligence atau pre-negosiasi, yang mana dalam bernegosiasi diperlukan proses mengamati lingkungan 16 untuk mengidentifikasi projek dan peluang perkembangan industri yang relevan), identifikasi partisipan, mencari tahu interest dan batna dari masingmasing pihak, pihak lain (mengevaluasi situasi kompetitif), serta isu negosiasi (mempengaruhi dalam memperoleh spesifikasi tender yang bagus bagi kontraktor).
- Fase penawaran dan negosiasi mengacu pada fase perancangan (design) atau di meja negosiasi (around the table negotiation), yang mana setiap partisipan mendefinisikan masing-masing interestnya, menentukan option, untuk setiap isu (mempersiapkan dokumen penawaran) dan mengevaluasi kombinasi yang berbeda dari setiap option (kontrak) yang berhubungan dengan interest (membuat keputusan mengenai harga dan penggunaan sumber daya (resources).
- Fase implementasi dan transisi mengacu pada fase memilih atau paket perjanjian, yang mana partisipan bersama sama memilih (penawaran awal projek) dan setuju terhadap kontrak negosiasi bersama (menandatangani kontrak) dan akhirnya mengimplementasikan dan mengawasi kontrak (mengirim dan mengawasi projek) 2.1.5 Cara Menetapkan Keputusan dalam Proses Negoisasi Negosiator yang baik hendaknya membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukan, agar berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. 17 Negosiasi adalah cara untuk menetapkan keputusan yang dapat disepakati dan diterima beberapa pihak dan menyetujui bagaimana tindakan yang akan dilakukan. Ujung dari negosiasi adalah poin kesepakatan yang diambil kedua belah pihak.
Negosiasi berpotensi untuk terjadinya konflik mulai awal hingga akhir pembicaraan. Negosiasi dapat menggunakan cara-cara pertukaran sesuatu baik berupa barter ataupun bargaining. Umumnya negosiasi dilakukan hampir selalu berbentuk tatap-muka, menggunakan bahasa lisan, gerak/bahasa tubuh maupun ekspresi wajah. Ada tiga konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, untuk membangun kerangka dasar pengambilan keputusan, yaitu : a) Best Alternative to a Negotiated Agreement (BATNA) Langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan. Misalnya mengenai pesangon yang akan dibayarkan oleh pengusaha dalam proses PHK tidak dapat disepakati oleh pihak pekerja, maka ada dua pilihan yang bisa ditawarkan oleh pihak pengusaha yaitu mencoba untuk melakukan trade off dengan pasal penambahan cuti atau meninggalkan perundingan bila tidak ada tanda-tanda positif dari pihak pekerja untuk beranjak dari posisinya saat itu. b) Reservation price Nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam negosiasi. Sebagai contoh : Negosiator dari pihak 18 pekerja akan menyepakati hasil perundingan secara keseluruhan, apabila minimum 5 dari 10 usulan mereka dapat diterima oleh pihak perusahaan. c) Zone of Possible Agreement atau disingkat ZOPA Suatu zona atau area yang memungkinkan terjadinya kesepakatan dalam proses negosiasi.
BAB V
Pengertian Market Share (Pangsa Pasar)
Pasar yang menggambarkan semua pembeli dan penjual yang telibat dalam suatu transaksi aktual dan potensial terhadap barang atau jasa yang ditawarkan. Suatu transaksi yang bersifat potensial dapat terlaksana, apabila kondisi berikut ini terpenuhi, yaitu : 1. Terdapat paling sedikit 2 (dua) pihak 2. Masing-masing pihak memiliki suatu barang bagi pihak lain 3. Masing-masing mampu berkomunikasi dan menyalurkan kieinginan 4. Masing-masing pihak bebas menerima atau menolak penawaran dari pihak lain Pangsa pasar merupakan besarnya bagian atau luasnya total pasar yang dapat dikuasai oleh suatu perusahaan yang biasanya dinyatakan dengan persentase dengan memecah-mecah suatu keseluruhan yang heterogen menjadi bagian yang homogen yang mencakup para pelanggan yang mempunyai kepentingan yang sama untuk tujuan yang berbede-beda 19 Dari definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan pangsa pasar adalah besarnya bagian pasar yang dikuasai oleh suatu perusahaan. Dengan kata lain penguasaan suatu produk terhadap pasar atau besarnya jumlah produk yang diminta yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dibandingkan dengan jumlah permintaan di pasar. Pangsa pasar ini dapat dipecah-pecah menurut wilayah politis, kawasan geografis yang lebih besar, ukuran, pelanggan, tipe pelanggan, dan teknologinya.
Ada 4 ukuran atau 4 jenis dalam mendefinisikan dan mengukur pangsa pasar yang ada dalam suatu pasar, ukuran pangsa pasar tersebut antara lain : 1. Pangsa pasar keseluruhan. Pangsa pasar keseluruhan adalah penjualan suatu perusahaan yang penjualnya dinyatakan sebagai persentase dari penjualan pasar secara total atau secara keseluruhan dalam suatu industri, diperlukan 2 (dua) keputusan untuk menggunakan ukuran ini yaitu : apakah proses perhitungan pangsa pasar akan menggunakan perhitungan dalam unit penjualan atau dalam pendapatan penjualan (rupiah) untuk menyatakan pangsa pasar. 2. Pangsa pasar yang dilayani. Pangsa pasar yang dilayani adalah persentase dari total penjualan terhadap pasar yang telah dilayani oleh suatu perusahaan, pasar yang dilayani adalah semua pembeli yang dapat dan ingin membeli produknya. 20 3. Pangsa pasar relatif (untuk 3 pesaing puncak). Pangsa pasar relatif jenis ini hanya menyatakan persentase penjualan suatu perusahaan dari penjualan gabungan 3 perusahaan pesaing terbesar dalam bidang yang sama. 4. Pangsa pasar relatif (terhadap pesaing pemimpin). Beberapa perusahaan melihat pangsa pasar mereka sebagai persentase dari penjualan pesaing pemimpin. Perusahaan yang memiliki pangsa pasar lebih besar 100 % disebut sebagai pemimpin pasar, sementara Perusahaan yang memiliki pangsa pasar tepat 100 % berarti perusahaan tersebut memimpin pasar yang ada bersama-sama. 2.1.8 Karakteristik negoisasi dalam perusahaan media penyiaran Negosiasi bisnis berbeda dengan jenis negosiasi lainnya. Dalam suatu negosiasi bisnis, setiap pihak yang terlibat berusaha untuk menemukan suatu win-win solution. Dalam win-win solution, kedua pihak sama-sama mencari solusi yang dapat memuaskan bagi kedua belah pihak. Negosiasi bisnis adalah untuk memastikan akhir negosiasi Tuntutan dalam persaingan global sangat berarti dalam negosiasi bisnis, tentunya dengan concept yang kita gunakan win-win solution akan mengambilkan suatu hasil yang berarti dengan mitra bisnis kita. Karakreistik negosiasi yang baik yaitu: 21 1. Senantiasa melibatkan orang, baik sebagai individual, perwakilan organisasi atau perusahaan, sendiri atau dalam kelompok 2. Memiliki ancaman terjadinya atau didalamnya mengandung konflik yang terjadi kesepakatan dalam akhir negosiasi 3. Menggunakan cara-cara pertukaran sesuatu, baik berupa tawar menawar (bargain) maupun tukar menukar (barter) 4. Hampir selalu berbentuk tatap muka yang menggunakan bahasa lisan, gerak tubuh maupun ekspresi wajah 5. Negosiasi biasanya menyangkut hal-hal di depan ada sesuatu yang belum terjadi dan kita inginkan terjadi 6. Ujung dari negosiasi adalah adanya kesepakatan yang diambil oleh kedua belah pihak, meskipun kesepakatan itu misalnya kedua belah pihak sepakat untuk tidak sepakat
BAB VI
Petugas pemasaran sebagai pelaksana negoisasi
Berkaitan dengan petugas pemasaran di media penyiaran, ada beberapa jabatan yang disiapkan. Misalnya, manajer pemasaran dan marketer. Istilah yang digunakan untuk pemasar ini beranekaragam, contohnya marketer juga bisa disebut account executive, marketing executive, marketing support, dan lain-lain. Pada dasarnya tujuannya sama, 22 yaitu menjual produk media penyiaran atau mengajak pengiklan untuk menggunakan media penyiaran sebagai wahana iklan dan rangkaian acara PT Bali Music Channel 1. Account Executive Account Executive mempunyai posisitanggung jawab di alam penjualan iklan manapun berita. Ia menjalankan pemasaran waktu siaran iklan dan menghasilkan pemasukan untuk media penyiaran. Ia bergerak mencapai target penjualan, mengkoordinasi promosi (kadang-kadang bersama marketing communication), mengembangkan penjualan dan materi pemasaran. 2. Marketing Communication Marketing communication sebenarnya lebih dari sekedar menjual iklan maupun berita. Namun melakukan branding sebagai upaya meningkatkan market share pada perusahaan dengan berbagai macam penawaran baik berupa bntuk kerjasama berbayar maupun tidak berbayar yang menyangkut jasa tentunya bukan hanya menjual jasa media penyiaran, misalnya iklan untuk mendongkrak penjualan suatu produk atau jasa meliputi semua tahapan, yaitu membantu proses penciptaan acara hingga mengecek dampaknya bagi khalayak setelah menjalankan rangkaian acara yang telah terjadi. 23 2.1.10 Pengertian Pentingnya Negoisasi pada Peningkatan Market Share dalam Media Penyiaran Media Relations sebagai hubungan dengan media komunikasi untuk melakukan publisitas atau merespon kepentingan media terhadap kepentingan organisasi dimana terdapat fungsi Public Relations eksternal yang membina dan mengembangkan hubungan baik dengan media massa sebagai sarana komunikasi antara organisasi dengan publik untuk mencapai tujuan organisasi. Tampak bahwa pencapaian perluasan pangsa pasar atas tercapainya hubungan kerjasama yang dilakukan dengan sistem negoisasi yang baik yaitu berdasarkan pada relasi antara individu atau organisasi/perusahaan dengan media. Sehingga dapat disimpulkan pengertian relasi yang dibangun dan dikembangkan dengan media untuk menjangkau publik guna meningkatkan pencitraan, kepercayaan, dan tercapainya tujuan-tujuan individu maupun organisasi/perusahaan.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perusahaan mengunakan mediamassa sebagai medium penyampai pesan dan pencitraan kepada publik. Semakin banyak akses yang didapat publik dari media massa berkaitan dengan produk atau layanan yang diberikan oleh perusahaan, maka diharapkan semakin besar tingkat kepercayaan publik. Pada akhirnya publik akan memakai produk atau jasa perusahaan yang dipublikasikan media, atau setidaknya, publik dapat menjadi saluran kembali yang secara tidak langsung mempromosikan produk atau jasa kepada komunitasnya melalui word of mouth. 24 Pada dasarnya, banyak pilihan saluran komunikasi atau media yang bisadipakai perusahaan dalam menyampaikan pesan. Dalam kajian komunikasi massa ada empat saluran komunikasi, yaitu media antarpribadi, mediakelompok, media massa, dan media publik. Sebagai saluran komunikasi, media massa memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan media lainnya. Hafied Cangara (2003: 134-135) memaparkan lima karakteristik media massa. Pertama, bersifat melembaga, pihak yang mengelola media melibatkan banyak individu mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi yang bersifat satu arah dengan jangkauan yang luas, artinya media massa memiliki kemampuan untuk menghadapi jangkauan yang lebih luas dan kecepatan dari segi waktu. Juga, bergerak secara luas dan simultan di mana dalamwaktu bersamaan informasi yang disebarkan dapat diterima oleh banyak individu. Sehingga meningkatkan kepercayaan publik terhadap produk dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan juga meningkatkan point of selling dari produk dan jasa membantu perusahaan keluar dari komunikasi krisis termasuk meningkatkan relasi dari beragam publik, seperti terhadap lembaga pemerintahan, perusahaan-perusahaan, organisasi kemasyarakatan, maupun individu. Fungsi-fungsi inilah yang menempatkan pentingnya peranan negosiasi bagi media relations sebagai bagian dari aktifitas public relations yang dilakukan perusahaan dengan media massa yang dibangun dan dikembangkan dengan media 25 untuk menjangkau publik guna meningkatkan pencitraan, kepercayaan, dan tercapainya tujuan-tujuan individu maupun organisasi/perusahaan. Fungsi media relations adalah meningkatkan citra perusahaan, meningkatkan kepercayaan publik, meningkatkan point of selling, membantu perusahaan keluar dari komunikasi krisis, dan meningkatkan relasi dari beragam publik. Tampak bahwa peranan negoisasi yang terwujudkan dan mencapai suatu bentuk kerjasama dalam peruasahaan berdasarkan pada relasi antara individu atau organisasi/perusahaan dengan media. Sehingga dapat disimpulkan pengertian pentingnya negoisasi dalam meningkatkan market share adalah adanya relasi yang dibangun dan dikembangkan dengan media untuk menjangkau publik guna meningkatkan pencitraan, kepercayaan, dan tercapainya tujuan-tujuan individu maupun organisasi/perusahaan bahwa perusahaan mengunakan media massa sebagai medium penyampaian pesan dan pencitraan kepada publik. Semakin banyak akses yang didapat publik dari media massa berkaitan dengan produk atau layanan yang diberikan oleh perusahaan, maka diharapkan semakin besar tingkat kepercayaan publik. Pada akhirnya public sebagai konsumen akan memakai produk atau jasa perusahaan yang dipublikasikan media sebagai perwujudan kontribusi perusahaan terhadap masyarakat
BAB VII
Teori Negosiasi Muka
Teori Negosiasi Muka (Face-Negotiation Theory) dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey pada tahun 1988. Teori ini memberikan sebuah dasar untuk memperkirakan bagaimana manusia akan menyelesaikan karya muka dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Muka atau rupa mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Dengan kata lain rupa merupakan gambaran yang anda inginkan atau jati diri orang lain yang berasal dari anda dalam sebuah situasi sosial. Karya muka adalah perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi rupa mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam muka orang lain.
Teori ini merupakan teori gabungan antara penelitian komunikasi lintas budaya, konflik, dan kesantunan. Teori negosiasi muka memiliki daya tarik dan penerapan lintas budaya karena Stella Ting-Toomey—pencetus teori ini—berfokus pada sejumlah populasi budaya, termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina dan Amerika Serikat. Ting-Toomy menjelaskan bahwa budaya memberi bingkai interpretasi yang lebih besar di mana muka dan gaya konflik dapat diekspresikan dan dipertahankan secara bermakna.
Teori negosiasi muka adalah salah satu dari sedikit teori yang secara eksplisit mengakui bahwa orang dari budaya yang berbeda memiliki bermacam pemikiran mengenai “muka” orang lain. Pemikiran ini menyebabkan mereka menghadapi konflik dengan cara berbeda. Muka merupakan perpanjangan dari konsep diri seseorang, muka telah menjadi fokus dari banyak penelitian di dalam berbagai bidang ilmu.
Ting-toomey mendasarkan banyak bagian dari teorinya pada muka dan facework. Muka merupakan gambaran yang penting dalam kehidupan. Muka juga merupakan sebuah metafora bagi citra diri yang diyakini melingkupi seluruh aspek kehidupan sosial. Konsep ini bermula dari bangsa Cina. Bagi bangsa Cina muka dapat menjadi lebih penting dibandingkan kehidupan itu sendiri. Erving Goffman (1967) juga diakui sebagai sosok yang menempatkan muka dalam penelitian Barat kontemporer. Ia mengamati bahwa muka (face) adalah citra dari diri yang ditunjukkan orang dalam percakapan dengan orang lain. Goffman juga mendeskripsikan muka sebagai sesuatu yang dipertahankan, hilang atau diperkuat. Istilah ini setiap harinya dapat ditemukan dalam bahasa sehari-hari kita dengan penggunaan istilah “tebal muka”, “muka tembok”, jaim (jaga image), muka cemberut, muka kusut, dan lain sebagainya.
Ting-Toomey dan koleganya (Oetzel, Yokochi, Masumoto &Takai, 2000) mengamati bahwa muka berkaitan dengan nilai diri yang positif dan memproyeksikan nilai lain dalam situasi interpersonal. Namun demikian konsep muka ini kajian meluas tidak hanya pada konteks interpersonal namun dalam semua kontkes komunikasi. Seperti halnya bagaimana Presiden SBY—yang terkenal dengan presiden yang sangat menjaga citra—sebelum melakukan pidato, tidak jarang sangat memperhatikan penampilan apakah ia sudah nampak sempurna riasan di wajah, pecinya bahkan dasi atau aksesoris yang dikenakan lainnya. Istilah ini bisa juga bisa digunakan hingga bagaimana kita memakai pada konteks muka sebagai suatu bangsa yang besar (wajah Indonesia atau potret Indonesia).
Ting-Toomey (2004) telah memperluas pemikiran Goffman. Ia menggabungkan beberapa pemikiran dari penelitian mengenai kesantunan yang menyimpulkan bahwa keinginan mengenai muka merupakan keinginan yang universal. Ia juga berpendapat bahwa muka merupakan citra diri seseorang yang diproyeksikan dan merupakan klaim akan penghargaan diri dalam sebuah hubungan. Ia percaya bahwa muka melibatkan penampilan dari bagian depan (front stage) yang beradab kepada individu lain. Dalam hal ini, muka juga merupakan identitas yang didefinisikan oleh dua orang secara bersamaan dalam sebuah konteks komunikasi. Selain itu, muka adalah citra diri yang diakui secara sosial dan isu-isu citra lain yang dianggap penting. Oleh karena itu, muka adalah fenomena lintas budaya, yang artinya semua individu dalam semua budaya memiliki dan mengelola muka; muka melampaui semua budaya.
Keberagaman budaya sangat mempengaruhi cara orang-orang tersebut berkomunikasi. Walaupun muka adalah konsep universal, terdapat berbagai perbedaan yang merepresentasikan budaya mereka masing-masing. Kebutuhan akan muka ada di dalam semua budaya, tetapi semua budaya tidak mengelola kebutuhan muka ini secara sama. Ting-toomey berpendapat bahwa muka dapat diinterpretasikan dalam dua cara: kepedulian akan muka dan kebutuhan akan muka. Kepedulian akan muka (face concern) berkaitan dengan baik muka seseorang maupun muka orang lain. Terdapat kepentingan diri sendiri dan kepentingan orang lain. Contoh yang bisa dipakai adalah bagai mana ketika kita bertemu dengan orang yang berbeda budaya selalu berusaha menjagaimage dan bersikap santun agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Sementara kebutuhan akan muka (face need) merujuk pada dikotomi keterlibatan—otonomi. Contohnya ada sebagian budaya yang tidak suka tergantung kepada orang atau budaya lain, sehingga penampilan atau muka yang tampak bersifat cukek atau tidak peduli dengan orang lain.
Ting-Toomey dipengaruhi oleh penelitian mengenai kesantunan. Teori kesantunan Penelope Brown dan Stephen Levinson (1978) menyatakan bahwa orang akan menggunakan stratei kesantunan berdasarkan persepsi ancaman muka. Para peneliti menemukan dua kebutuhan universal: kebutuhan muka positif dan kebutuhan muka negatif. Muka positif (positive face) adalah keinginan untuk disukai dan dikagumi oleh orang-orang penting dalam hidup kita. Sedangkan muka negatif (negative face) merujuk pada keinginan untuk memiliki otonomi dan tidak dikekang. Kebutuhan akan muka menjelaskan mengapa seorang mahaiswa yang ingin meminjam catatan temannya tidak akan meminta dengan langsung (“pinjam catatanmu, ya?”), tetapi lebih sering meminta dengan memberikan perhatian kepada keinginan muka negatif seseorang (“apakah bisa saya meminjam catatanmu sebentar? Saya mau fotokopi, dst—sambil memberikan banyak alasan lain).
Ketika muka positif atau negatif para komunikator sedang terancam, mereka cenderung mencari bantuan atau cara untuk mengembalikan muka mereka atau mitra mereka. Ting-Toomey mendefinisikan hal ini sebagai facework, atau tindakan yang diambil untuk menghadapi keinginan akan muka seseorang dan/atau orang lainnya. Stella Ting-Toomey dan Leeva Chung (2005) juga mengemukakan bahwa facework adalah mengenai strategi verbal dan nonverbal yang kita gunakan untuk memelihara, mempertahankan, atau meningkatkan citra diri sosial kita dan menyerang atau mempertahankan (atau menyelamatkan) citra sosial orang lain.
Teori ini dapat diperluas dengan mengidentifikasi tiga jenis facework, seperti dijelaskan oleh Te-Stop dan John Bowers (1991), yaitu: kepekaan, solidaritas dan pujian. Pertama facework ketimbangrasaan (tact facework) merujuk pada batas di mana orang menghargai otonomi seseorang. Facework ini memberikan kebebasan kepada seseorang untuk bertindak sebagaimana ia inginkan. Kedua, facework solidaritas (solidarity facework), berhubungan dengan seseorang menerima orang lain sebagai mana anggota dari kelompok dalam (in-group). Solidaritas meningkatkan hubungan di antara dua orang yang sedang berbicara, maksudnya perbedaan-perbedaan diminimalkan dan kebersamaan ditekankan melalui bahasa informal dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki bersama. Ketiga, facework pujian (approbation facework), yang berhubungan peminimalan penjelekan dan pemaksimalan pujian kepada orang lain. Facework ini muncul ketika seseorang mengurangi fokus pada aspek negatif orang lain dan lebih berfokus pada aspek yang positif.
Beberapa asumsi teori Negosiasi Muka mencakup komponen-komponen penting dari teori ini: muka, konflik, dan budaya. Dengan demikian poin-poin berikut menuntun teori dari Ting-Toomey:
- Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan individu-individu menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam budaya yang berbeda.
- Manajemen konflik dimediasi oleh muka dan budaya.
- Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang ditampilkan (muka).
Asumsi pertama menekankan pada identits diri (self identity) atau ciri pribadi atau karakter seseorang. Citra ini adalah identitas yang ia harapkan dan ia inginkan agar identitas tersebut diterima orang lain. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif seseorang, pemikiran, ide, memori, dan rencana. Identitas diri tidak bersifat stagnan, melainkan dinegosiasikan dalam interaksi dengan orang lain. Orang memiliki kekhawatiran akan identitasnya atau muka (muka diri) dan identitas atau muka orang lain (muka lain). Budaya dan etnis mempengaruhi identitas diri, cara di mana individu memproyeksikan identitas dirinya juga bervariasi dalam budaya yang berbeda.
Para individu di dalam semua budaya memiliki beberapa citra diri berbeda bahwa mereka menegosiasikan citra ini secara terus menerus. Rasa akan diri seseorang merupakan hal yang sadar maupun tidak sadar. Artinya, dalam banyak budaya yang berbeda, orang-orang membawa citra yang mereka presentasikan kepada orang lain secara kebiasaan atau strategis. Bagaimana persepsi rasa akan diri kita dan bagaimana kita ingin orang lain mempersepsi kita merupakan hal yang sangat penting dalam komunikasi.
Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen utama dari teori ini. Konflik dapat merusak muka sosial seseorang dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang. konflik adalah ‘forum” bagi kehilangan muka dan penghiaan terhadap muka. Konflik mengancam muka kedua pihak dan ketika terdapat negosiasi yang tidak berkesesuaian dalam menyelesaikan konflik tersebut (seperti menghina orang lain, memaksakan kehendak, dst), konflik dapat memperparah situasi. Cara manusia disosialisasikan ke dalam budaya mereka dan memengaruhi bagaimana mereka akan mengelola konflik.
Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh suatu tindakan terhadap muka. Dengan menggabungkan hasil penelitian mengenai kesantunan, Ting-Toomey menyatakan bahwa tindakan yang mengancam muka mengancam baik muka positif maupun muka negatif dari para partisipan. Ada dua tindakan yang menyusun proses ancaman terhadap muka: penyelamatan muka dan pemulihan muka. Pertama, penyalamatan muka (face-saving) mencakup usaha-usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan kerentanan atau merusak citra seseorang. Penyelamatan wajah sering kali menghindarkan rasa malu. Pemulihan muka (face restoration) terjadi setelah adanya peristiwa kehilangan muka. Orang akan selalu berusaha untuk memulihkan muka dalam respons akan suatu peristiwa. Misalnya, alasan-alasan yang diberikan orang merupakan bagian dari teknik-teknik pemulihan muka ketika suatu peristiwa memalukan terjadi.
Budaya menurut Ting-toomey bukanlah variabel yang statis. Budaya dapat diinterpretasikan melalui banyak dimensi. Budaya dapat diorganisasikan dalam dua kontinum: individualism dan kolektivisme. Budaya individualistis adalah budaya “kemandirian” dan budaya kolektivitik adalah budaya “saling ketergantungan”. Budaya di seluruh dunia beragam dalam hal individualism dan kolektivisme. Kedua dimensi ini memainkan peranan yang penting dalam cara bagaimana faceworkdan konflik dikelola. Ting-Toomey dan koleganya mengklarifikasi bahwa individualisme dan kolektivisme berlaku tidak hanya pada budaya nasional, melainkan juga pada sub-budaya tertentu.
Individualisme merujuk pada kecenderungan orang untuk mengutamakan identitas individual dibandingkan identitas kelompok, hak individual dibandingkan hak kelompok, dan kebutuhan individu dibandingkan kebutuhan kelompok. Individualisme adalah identitas “Aku”. Larry Samovar dan Richard poter (2004) percaya bahwa individualisme merupakan suatu pola yang penting di Amerika Serikat. Menurut mereka individualisme menekankan inisiatif individu, kemandirian, ekspresi individu, dan bahkan privasi. Nilai-nilai individualistik menekankan adanya antara lain kebebasan, kejujuran, kenyamanan, dan kesetaraan pribadi.
Individualisme melibatkan motivasi diri, otonomi, dan pemikiran mandiri. Individualisme menyiratkan komunikasi langsung (to the point) dengan orang lain yang sering dikenal dengan budaya komunikasi konteks rendah. Menurut ilmuan lintas budaya, individualisme dianggap penting di amerika Serikat, selain itu ada Australia, Inggris, Kanada, Belanda, dan Selindia Baru. Italia, belgia dan Denmark juga dianggapIndividualistik.
Apabila individualisme berfokus pada identitas personal seseorang, kolektivisme melihat ke luar diri sendiri. Kolektivisme adalah penekanan pada tujuan kelompok dibandingkan tujuan individu, kewajiban kelompok dibandingkan hak individu dan kebutuhan kelompok dibandingkan kebutuhan pribadi. Kolektivisme adalah identitas “Kita”. Orang-orang di dalam budaya kolektivistik menganggap penting berkerja sama den memandang diri mereka sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Masyarakat kolektivistik mementingkan keterlibatan. Beberapa nilai kolektivistik diantaranya adalah menekankan keselarasan, menghargai keinginan orang tua, dan pemenuhan kebutuhan orang lain.
Kolektivisme menyiratkan komunikasi tidak langsung (lebih banyak basa-basi terlebih dulu), istilah sering dikenal dengan budaya komunikasi konteks tinggi. Contoh-contoh budaya kolektivistik meliputi Indonesia, Vietnam, Kolumbia, Venezuela, Panama, meksiko, Ekuador, dan Guatemala. Negara-negara ini umumnya miskin, bahkan bebeapa kemiskinan yang paling parah ditemukan di negara-negara kategori budaya kolektivistik. Karenanya orang-orang di beberapa budaya ini lebih tidak dituntun oelh aturan dan berfungsi sebagai kelompok lebih karena kebutuhan fisik dan ekonomi.
Ting-Toomey dan Chung (2005) berargumen bahwa anggota-anggota dari budaya yang mengikuti nilai-nilai individualitik cenderung lebih berorientasi pada muka diri, sementara anggota-anggota yang mengikuti nilai yang berorientasi pada kelompok cenderung lebih berorientasi pada muka orang lain atau muka bersama dalam sebuah konflik. Dalam budaya individualistik, manajemen muka (face manajement) dilakukan secara terbuka yang melibatkan melindungi muka seseorang, bahkan jika harus melakukan tawar-menawar.
Budaya kolektivistik berkaitan dengan kemampuan adaptasi dari citra presentasi diri. Kemampuan beradaptasi memungkinkan munculnya ikatan yang saling tergantung dengan orang lain (muka positif). Maksudnya adalah anggota dari komunitas kolektivistik mempertimbangkan hubungan mereka dengan orang lain ketika mereka mendiskusikan sesuatu dan merasa bahwa suatu percakapan membutuhkan keberlanjutan dari kedua komunikator.
Konflik sering kali ada terjadi ketika anggota-anggota dari kedua budaya yang berbeda—individualistik dan kolektivistik—berkumpul bersama dan bahwa individu-individu akan menggunakan beberapa gaya konflik yang berbeda. Gaya-gaya ini merujuk pada respons yang berpola, atau cara khas untuk mengatasi konflik melintasi berbagai perjumpaan komunikasi. Gaya-gaya ini mencakup menghindar, menurut, berkompromi, mendominasi, dan mengintegrasikan. Dalam menghindar, orang akan berusaha menjauhi ketidaksepakatan dan menghindari pertukaran yang tidak menyenangkan dengan orang lain (“Saya sibuk” atau “Saya tidak ingin membicarakannya”). Gaya menurut mencakup akomodasi pasif yang berusaha memuaskan kebutuhan kebutuhan orang lain atau sepakat dengan saran-saran dari orang lain (“Saya ikut saja” atau “Apapun yang ingin anda lakukan saya tidak keberatan”).
Dalam berkompromi, individu-individu berusaha menemukan jalan tengah untuk mengatasi jalan buntu dan menggunakan pendekatan memberi-menerima sehingga kompromi dapat tercapai (“Saya akan tuda liburan ke Bali, Jika anda mau berkerja sama”). Gaya mendominasi mencakup perilaku-perilaku yang menggunakan pengaruh, wewenang atau keahlian untuk menyampaikan idea tau mengambil keputusan (“Posisi saya akan menentukan masalah ini”). Terakhir gaya mengintegrasikan digunakan untuk menemukan solusi masalah (‘Saya rasa kita harus menyelesaikan ini bersama-sama”). Tidak seperti berkompromi, integrasi membutuhkan perhatian yang tinggi untuk diri anda dan orang lain.
Keputusan untuk menggunakan satu atau lebih dari gaya-gaya ini akan bergantung dari variabilitas budaya dari komunikator. Manajemen konflik juga menganggap penting persoalan muka diri dan muka lain. Sehubungan dengan perbandingan yang melintasi lima budaya (Jepang, Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Amerika Serikat), Ting-Toomey dan para kolega dalam penelitiannya (1991) menemukan beberapa hal:
- Anggota-anggota dari budaya Amerika Serikat menggunakan lebih banyak gaya mendominasi dalam manajemen konflik.
- Orang Taiwan menyatakan bahwa lebih banyak menggunakan gaya mengintegrasikan dalam manajemen konflik.
- Orang Cina dan Taiwan menggunakan lebih banyak gaya menurut.
- Orang Cina lebih banyak menggunakan tingkat menghindar yang tinggi sebagai gaya konflik dibandingkan kelompok budaya lainnya.
- Orang Cina menggunakan tingkat kompromi yang lebih tinggi dari budaya-budaya lainnya.
Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa budaya kolektivistik (Cina, Korea dan Taiwan) memiliki tingkat perhatian terhadap muka lain yang lebih tinggi. Dari sini jelaslah bahwa penelitian mengenai muka dan konflik menunjukkan variabilitas budaya memengaruhi bagaimana konflik dikelola.
Dalam budaya kolektivis, keanggotaan dalam kelompok biasanya merupakan sumber utama identitas. Bagi masyarakat Jepang, wajah melibatkan, “kehormatan, kesopanan, kehadiran, dan pengaruh pada orang lain”. Di antara masyarakat Cina, “memperoleh dan kehilangan wajah dekat hubungannya dengan masalah harga diri, martabat, penghingaan, rasa malu, aib, kerendahan hati, kepercaayaan, rasa curiga, rasa hormat dan gengsi”.
Sikap yang berbeda menyangkut apa yang mewakili wajah memiliki pengaruh yang nyata pada bagaimana budaya memandang dan mendekati konflik. Dalam budaya kolektif, konflik dalam kelompok-dalam “dianggap merusak wajah sosial dan keharmonisan hubungan, jadi harus dihindari sedapat mungkin”. Ting-Toomey (dalam Samovar 2010: 260) menyatakan bahwa ketika berhadapan dengan sesuatu yang berpotensi menimbulkan konflik, masyarakat dari budaya kolektivis cenderung menghindar. Di Jepang, memeriksa tagihan atau bon akan mengakibatkan hilangnya wajah karyawan toko atau toko itu sendiri. Masyarakat dari budaya individualistis bagaimanapun, lebih peduli pada wajahnya sendiri dan cenderung menghadapi dan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada solusi untuk mengatasi konflik. Di Amerika, memeriksa tagihan atau bon sebelum membayarnya adalah hal yang biasa.
Perilaku berbeda terhadap konflik menimbulkan gaya komunikasi budaya yang cukup berbeda. Selama komunikasi antarbudaya terjadi, gaya yang berlawanan ini dapat menimbulkan kebingungan, kesalahpahaman, atau bahkan kebencian di antara pelaku komunikasi. Hal yang sama juga berlaku pada gaya komunikasi tidak langsung (seperti pada budaya konteks tinggi) dalam rangka mempertahankan hubungan baik dapat menimbulkan efek yang sebaliknya di antara peserta individualistis yang menganggap bahwa interaksi dapat mengancam wajah. Bagi orang Indonesia mungkin menyapa seseorang mungkin suatu bentuk keramah-tamahan, namun belum tentu bagi orang Amerika mungkin itu bisa dimaknai hal yang mengganggu.